Wednesday, 6 April 2011

Disfungsi Ereksi


Disfungsi Ereksi

1. Pengertian
Disfungsi ereksi adalah ketidakmampuan yang menetap atau terus-menerus untuk mencapai atau mempertahankan ereksi penis yang berkualitas sehingga dapat mencapai hubungan seksual yang memuaskan. Batasan tersebut menunjukkan bahwa proses fungsi seksual laki-laki mempunyai dua komponen yaitu mencapai keadaan ereksi dan mempertahankannya (NIH Consensus Development Panel on Impotence, 1993). 2. Etiologi (Penyebab)
Fazio dan Brock (sebagaimana dikutip oleh Wibowo, 2007) mengklasifikasikan penyebab disfungsi ereksi sebagai berikut:

Faktor Penyebab dan contohnya:
1. ketuaan
2. gangguan psikologis, misalnya: depresi, ansietas
3. gangguan neurologis, misalnya: penyakit serebral, trauma spinal, penyakit medula spinalis neuropati, trauma nervus pudendosus.
4. penyakit hormonal (libido menurun), misalnya: hipogonadism, hiperprolaktinemi, hiper atau hipo tiroidsm, Cushing sindrom, penyakit addison.
5. penyakit vaskuler, misalnya: aterosklerosis, penyakit jantung iskemik, penyakit vaskuler perifer, inkompetensi vena, penyakit kavernosus.
6. obat-obatan, misalnya: antihipertensi, antidepresan, estrogen, antiandrogen, digoksin.
7. kebiasaan, contohnya: pemakai marijuana, alkohol, narkotik, merokok.
8. penyakit-penyakit lain, contohnya: diabetes melitus, gagal ginjal, hiperlipidemi, hipertensi, penyakit paru obstruksi kronis.

3. Klasifikasi
Menurut Wibowo (2007) pembagian disfungsi ereksi dikelompokkan menjadi lima kategori penyebab yaitu:

a. Psikogenik
Disfungsi ereksi yang disebabkan faktor psikogenik biasanya episodik, terjadi secara mendadak yang didahului oleh periode stres berat, cemas, depresi. Disfungsi ereksi dengan penyebab psikologis dapat dikenali dengan mencermati tanda klinisnya yaitu :
· Usia muda dengan awitan (onset) mendadak
· Awitan berkaitan dengan kejadian emosi spesifik
· Disfungsi pada keadaan tertentu, sementara pada keadaan lain, normal
· Ereksi malam hari tetap ada
· Riwayat terdahulu adanya disfungsi ereksi yang dapat membaik spontan
· Terdapat stres dalam kehidupannya, status mental terkait kelainan depresi, psikosis atau cemas.

b. Organik
Disfungsi ereksi yang disebabkan organik dibagi menjadi dua:

1) Neurogenik
Disfungsi ereksi yang disebabkan neurogenik ditandai dengan gambaran klinis:
· Riwayat cedera atau operasi sumsum tulang atau panggul
· Mengidap penyakit kronis (diabetes melitus, alkoholisme)
· Menderita penyakit neurologis tertentu seperti multipel sklerosis, stroke
· Pemeriksaan neurologik abnormal daerah genital (alat kelamin) / perineum.

2) Vaskuler
Disfungsi ereksi yang disebabkan oleh kelainan vaskuler dibagi dua, kelainan pada arteri dan kelainan pada vena. Disfungsi ereksi yang disebabkan oleh kelainan vaskulogenik arteria memiliki penampilan klinis sebagai berikut:
· Minat tehadas seks tetap ada
· Pada semua kondisi terjadi penurunan fungsi seks
· Secara bertahap terjadi disfungsi ereksi sesuai bertambahnya umur
· Menggunakan obat resep atau obat bebas terkait dengan disfungsi ereksi
· Perokok
· Kenaikan tekanan darah, terbukti dengan didapatkannya penyakit vaskuler perifer (bruit, denyut nadi menurun, kulit dan rambut berubah sejalan dengan insufisiensi arteri)
Disfungsi ereksi oleh karena kelainan vaskulogenik venosa memiliki gambaran klinis sebagai berikut:
· Tidak mampu mempertahankan ereksi yang sudah terjadi
· Riwayat priapismus (penis selalu tegang) sebelumnya
· Kelainan (anomali) lokal penis

c. Hormonal
Disfungsi ereksi yang disebabkan karena hormonal mempunyai gambaran klinis sebagai berikut:
· Hilangnya minat pada aktifitas seksual
· Testis atrofi, mengecil
· Kadar testosteron rendah, prolaktin naik

d. Farmakologis
Hampir semua obat hipertensi dapat menyebabkan disfungsi ereksi yang bekerja disentral, misalnya metildopa, klonidin dan reserpin. Pengaruh utama kemungkinan melalui depresi sistem saraf pusat. Beta bloker seperti propanolol dapat menurunkan libido

e. Traumatik paska operasi
· Patologi pelvis (proses penyakit pada panggul) dapat merusak jalur serabut saraf otonom untuk ereksi penis
· Reseksi abdominal perineal, sistektomi radikal, prostatektomi radikal, bedah beku prostat, prostatektomi perineal, prostatektomi retropubik, dapat merusak saraf pelvis atau kavernosus yang menyebabkan disfungsi ereksi
· Uretroplasti membranasea, reseksi transuretra prostat, spingkterotomi eksterna, insisi striktura uretra eksterna dapat menyebabkan disfungsi ereksi karena kerusakan serabut saraf kavernosus yang berdekatan
· Uretrotomi internal visual untuk striktur dapat menyebabkan kerusakan saraf kavernosus dengan fibrosis sekunder akibat perdarahan atau ekstravasasi cairan irigasi dapat menyebabkan disfungsi ereksi
· Radiasi daerah pelvis untuk keganasan rektal, kandung kemih atau prostat dapat juga menyebabkan disfungsi ereksi.

4. Patofisiologi

Mekanisme terjadinya disfungsi ereksi menurut Hilsted dan Low (1993) merupakan kombinasi neuropati otonom dan keterlibatan arteriosklerosis arteri pudenda interna.

Menurut Moreland (sebagaimana dikutip oleh Wibowo, 2007) ada dua pandangan utama patofisiologi kasus disfungsi ereksi, pada hipotesis pertama perubahan yang dipengaruhi tekanan oksigen pada penis selama ereksi ditujukan untuk mempengaruhi struktur korpus kavernosum dengan cara menginduksi sitokin yang bermacam–macam. Faktor vasoaktif dan faktor pertumbuhan pada kondisi tekanan oksigen yang berbeda akan mengubah metabolisme otot polos dan sintesis jaringan ikat. Penurunan rasio antara otot polos dengan jaringan ikat pada korpus kavernosum dihubungkan dengan meningkatnya vena difus dan kegagalan mekanisme penyumbatan vena.

Hipotesis tersebut menyertakan bukti adanya perubahan pada fase ereksi penis malam hari dan perubahan sirkadian hubungannya dengan oksigenasi yang penting dalam pengaturan ereksi sehat. Hipotesis yang lain menyatakan bahwa disfungsi ereksi adalah hasil dari ketidakseimbangan metabolik antara proses kontraksi dan relaksasi di dalam otot polos trabekula, misalnya dominasi proses kontraksi. Kedua hipotesis ini dikaitkan dengan strategi penanganan DE.

Menurut Barton dan Jouber (2000), pada kasus–kasus dengan penyebab biologis jelas (misal neuropati diabetika), pengobatan dan akibat dalam jangka panjang kelainan seksual sekunder tersebut akan terpengaruh juga oleh faktor psikoseksual. Penyebab organik DE termasuk vaskuler, neurologik (saraf), hormonal, penyakit, atau obat–obatan tertentu dan sejumlah orang mempunyai faktor penyebab ganda. Pada faktor neurologik dapat berupa: stroke, penyakit demielinasi, kelainan dengan bangkitan atau kejang, tumor atau trauma sumsum belakang dan kerusakan saraf tepi.

Dua pertiga kasus DE adalah organik dan kondisi komorbid sebaiknya dievaluasi secara aktif. Penyakit vaskular dan jantung ( terutama yang berhubungan dengan hiperlipidemia, diabetes, dan hipertensi ) berkaitan erat dengan disfungsi ereksi. Kombinasi kandisi-kondisi ini dan penuaan meningkatkan resiko DE pada usia lanjut. Permasalahan hormonal dan metabolik lainnya, termasuk hipogonadisme primer dan sekunder, hipotiroidisme, gagal ginjal kronis, dan gagal hati juga berdampak buruk pada DE (Vary, 2007).

Penyalahgunaan zat seperti intake alkohol atau penggunaan obat-obatan secara berlebihan merupakan kontributor utama pada DE. Merokok merupakan salah satu penyebab arterio oklusive disease. Psikogenik disorder termasuk depresi, disforia dan kondisi kecemasan juga berhubungan dengan peningkatan kejadian disfungsi seksual multipel termasuk kesulitan ereksi. Cedera tulang belakang, tindakan bedah pelvis dan prostat dan trauma pelvis merupakan penyebab DE yang kurang umum (Wibowo, 2007).

DE iatrogenik dapat disebabkan oleh gangguan saraf pelvis atau pembedahan prostat, kekurangan glisemik, tekanan darah, kontrol lipid dan banyak medikasi yang umum, digunakan dalam pelayanan primer. Obat anti hipertensi khususnya diuretik dan central acting agents dapat menyebabkan DE. Begitu pula digoksin psikofarmakologic agents termasuk beberapa antidepresan dan anti testosteron hormon. Kadar testosteron memang sedikit menurun dengan bertambahnya usia namun yang berkaitan dengan DE adalah minoritas pria yang benar-benar hipogonadisme yang memiliki kadar testosteron yang rendah (Vary,2007).

5. Komorbiditas DE

Beberapa penyakit/kondisi dengan prevalensi DE yang tinggi, antara lain: gagal ginjal, Liver disease, multiple sclerosis, spinal cord injuries, anomaly atau penyakit penis (seperti: Peyronie’s Disease), pembedahan pelvis, trauma pelvis, pengobatan kanker prostat, dan hypogonadism (The Alberta Medical Association, 2005).

No comments:

Post a Comment